Di Tengah yang menghubungkan Pulau Jawa dan Sumatera, Hidup sebuah tunas yang menyumbul pelan dari dasar kerak bumi. Sang tunas terus bertumbuh setiap tahunnya setelah sempat luluh lantah akibat letusan maha dahsyat lebih dari seabad silam. Kini tunas itu berdiri bagai mercusuar yang menjaga lautan dari lalu lalang kehidupan di bawahnya. Ialah yang dikenal dengan anak Krakatau, titik pertemuan baragam spesies ikan yang bermigrasi menuju peraduannya.
Sebelum berdiri kokoh seperti sekarang, anak Krakatau merupakan sebuah anak gunung yang lahir dari sang induk—Gunung Krakatau. Setelah peristiwa erupsi kolosal pada tahun 1883 yang menghapus dua per tiga tubuh Pulau Rakata besar, eksistensi Gunung Krakatau pun menghilang sementara dari peta bumi.

Sampai pada tahun 1927, Gunung Anak Krakatau baru terlahir dari kaldera sisa letusan sang induk dan terus bertumbuh sekitar 4-6 meter setiap tahunnya. Hingga kini, Gunung anak Krakatau masih aktif dengan aktifitas vulkanis setiap harinya. Bukan hanya melontarkan abu vulkanik hingga setinggi 1000 meter dari puncak kawah, tapi juga lava pijar yang turut menyembul keluar dari perut magma.
Bagi para pemancing, Krakatau bukan hanya sebuah gunung yang menjadi panorama semu bila melangsungkan trip di perairan Selat Sunda. Lebih dari itu, di bawah kaki-kaki gunung yang diselimuti samudera, terpendam harta karun berupa kekayaan potensi perikanan yang begitu melimpah. Harta karun yang diidam-idamkan oleh banyak pemancing di seantero negeri.
Termasuk kami yang kepincut untuk bersua langsung dengan para penghuni bawah laut gunung anak Krakatau. Pada 4 November 2018 kami melangsungkan trip bersama tujuh pemancing yang tergabung dalam grup whatsapp ‘Open Trip Krakatau with Capt Tony Cilles’. Saya bersama Zachrudin, Budiman, dan Nasir datang dari Jakarta, kemudian menyusul kemudian Muhajir, Samian, Pandi, Agus, dan Anis dari sekitaran Cilegon dan Serang.
Kami berkumpul di dermaga Mabak, sebelah barat pelabuhan Merak yang menjadi Kapal besutan Toni Cilles bersandar. Kami memulai keberangkatan sekitar pukul 23:00 malam dari dermaga Mabak menuju gugusan kepulauan anak Krakatau. Dengan menempuh jarak sekitar 60 km, dibutuhkan waktu sekitar 2-3 jam pelayaran untuk sampai ke spot dituju.
Disambut Gelombang Tinggi
Pukul 02:00 dini hari, mesin kapal yang stabil menderu keras sedari awal berangkat, mulai sayup-sayup tanda perjalanan telah sampai di tujuan. Setelah jangkar menancap dengan tepat di titik pendaratan, mesin kapal dimatikan, saatnya bagi kami untuk beranjak dari tempat istirahat untuk memulai cerita petualangan kami di Krakatau.
Namun hal yang sudah kami nantikan sejak di darat, nyatanya tak bisa langsung kami nikmati begitu saja. Ombak besar yang mengalun dari timur dan ditambah terpaan angin kuat sudah menyambut kami sesampainya di kepulauan Krakatau. Alhasil sejak mesin kapal dimatikan, tidak ada aktifitas yang bisa kami lakukan selain menunggu ombak mereda dengan malanjutkan tidur.

Sampai waktu subuh menjelang, alun ombak baru mulai terasa menurun intesitasnya. Kondisi ini dimanfaatkan dengan baik oleh Muhajir dan Nasir yang langsung menyiapkan amunisi andalannya untuk bertempur. Sebagai ajang tes ombak, keduanya langsung menggunakan teknik dasaran dengan umpan cumi dan bandul J6 sebagai pemberat.
Tak disangka, arus bawah masih cukup deras menyapu bandul kami hingga melayang-layang tak menyentuh dasar perairan. Setelah berganti dengan bandul J8 barulah umpan dapat menghujam sempurna sampai lantai samudera. Tak membutuhkan waktu lama, sambaran pertama langsung diterima oleh Muhajir dari bawah air.
Ia langsung tak menyia-menyiakan kesempatan untuk menerima pinangan perlawanan sang buruan. Hingga pada akhir pertarungan dimenangkan oleh Muhajir yang berhasil menaikan Giant Trevally (GT) dengan bobot sekitar 3 kg. Belum selesai Muhajir tengah asik mengabadikan keberhasilannya, giliran reel Nasir yang menderit tanda umpan telah disambar taget.
Dengan perlawanan yang tak begitu berarti, Nasir dapat dengan mudah menaikan sang lawan ke dek kapal. Ternyata Kuwe Rambe berbobot serupa dengan Muhajir yang sukses ditaklukan oleh Nasir. Kondisi ini membuat rekan-rekan lain yang lain ‘gerah’ dan beranjak dari tempat istirahatnya untuk ikut bertempur bersama di buritan kapal.
Samian, Anis, Pandi seketika sudah berada di posisinya masing-masing dan mulai mengayunkan umpan dan pemberat ke dasar perairan. Seraya menghela nafas karena melihat Muhajir dan Nasir kembali panen strike beberapa ekor baby GT, mereka bertiga dengan nada optimis juga berharap merasakan sensasi yang sama.
Muruah Koloni Trevally
Pagi itu sampai pukul 08:00 WIB kami terus berpesta pora strike keluarga Trevally. Tidak hanya satu, bahkan beberapa rekan seperti; Samian dan Anis mampu double strike dalam satu kali tarikan. Menurut penuturan kapten Tony, spot ini memang masih cukup jauh dari kompleks gugusan gunung anak Krakatau, namun potensinya masih sangat melimpah mengingat di titik itu merupakan jalur koloni Trevally berlalu-lalang.
Kapten Tony menyebutnya spot timur Krakatau, gerbang awal kisah perjalanan kami sebelum menuju spot utama di barat Krakatau. Richard Sandy, selaku penggagas trip ini, pernah menjadi saksi bagaimana mempesonanya potensi bawah laut Krakatau yang dihuni beraneka ragam predator air asin. Lebih dari sebulan yang lalu dengan menggunakan kapal yang sama, pemancing asal kota Serang itu menuai hasil tangkapan maksimal.
Dengan fokus pada teknik dasaran sejak pukul 03:00 WIB pagi sampai pukul 11:00 WIB siang, Richard memamerkan foto hasil trip yang berpose ditimbun ikan hasil tangkapan mulai dari; Wakung, GT, Kuwe Cepa, Tengiri, Kadal Ijo, hingga Kakap Merah. Spot yang membuat Richard memutuskan untuk kembali mengadakan trip yang kami ikuti kali ini, bernama spot Sawo yang terletak di sebelah barat kompleks Krakatau.
Sejatinya kami ingin mengulang momen fenomenal serupa seperti yang dirasakan oleh Richard. Namun apa daya, faktor cuaca angin yang berhembus terus kencang dan alun ombak yang juga tak mereda, membuat kapten Tony memutuskan untuk tak melanjutkan kisah kami untuk mengukir sejarah mencecap pesona Krakatau lebih lama.
Tepat pada pukul 09:00 WIB pagi rombongan kami benar-benar ‘balik kanan’ mengarah ke utara, menghindari cuaca yang kian tak menentu di arah selatan Selat Sunda. Kami sempat berteduh sesaat di pulau Sangiang untuk sekadar makan siang dan mencoba peruntungan di spot karang-karang dangkalnya.
Namun tetap saja, selingan ini tidak akan setimpal membayar harapan kami untuk bisa mencecap surga bawah laut yang terjaga apik di kaki gunung anak Krakatau. Beberapa dari kami sampai berikrar untuk akan kembali berjumpa dengan si anak gunung yang tengah beraktifitas aktif. Bercengkrama dengan penghuni dasar samudera Selat Sunda dibawah cahaya lava pijar anak Krakatau. – Heksa Ragil .P