Bila surga laut di seluruh alam raya nusantara membentuk sebuah kerajaan, mungkin pusat pemerintahan dan ibukota kerajaan akan berada di Indonesia bagian timur. Dengan kekayaan ekologis berupa segitiga terumbu karang dunia yang terhampar luas di perairan timur Indonesia, sudah cukup menjadi indikator betapa harmoni alam ini mampu menjadi pusat peradaban di ekossitem laut. Dan wakatobi tak akan mungkin terlewat sebagai bagian dari kejayaan surga bawah laut itu.

Bagi mereka yang berjiwa petualang, pasti tidak akan melewatkan Wakatobi dalam daftar destinasi yang akan dijelajahi. Kabupaten terluar di provinsi Sulawesi Tenggara ini memang amat mahsyur dikenal sebagai kawasan yang menawarkan panorama bawah laut bak alam nirwana.

Kapal Motor Putra Tomia merupakan kapal pancing yang digunakan tim untuk mengeksplorasi spot-spot di perairan Wakatobi. Kami pemancing dari Jakarta, Bangka Belitung dan Sulawesi menjadi yang paling beruntung karena menjajal pertama kali operasional KM Putra Tomia.

Wakatobi telah didapuk sebagai bagian dari warisan segitiga karang dunia (Coral Reef Triangle), karena kekayaan gugusan terumbu karang yang membentang di setiap jengkal di lantai samuderanya. Jika dilihat dalam skala regional, Kepulauan Wakatobi memang tepat berada di jantung coral reef triangle. Posisi Wakatobi yang sangat strategis tersebut pula yang menjadikan kawasan konservasi ini mendunia sebagai salah satu spot diving terbaik dunia.

Untuk itu, sudah umum rasanya bila wisatawan yang berplesiran ke kepulauan Wakatobi pasti akan menyambangi surga bawah lautnya dengan kegiatan menyelam (diving). Namun hal itu tidak berlaku bagi kami yang sengaja datang dari Ibukota untuk menikmati Wakatobi dengan cara yang berbeda.

Ya, saya bersama rekan-rekan yang lain yaitu; Koh Ahuy, Budianto Tandiono, Lim Tamin, Edy Gunawan, Koh Willy, Levigo, Muksen, Koh Ayung, Pak Haji Arifin, Ari dan Pak Haji Ulis, berdua belas orang memilih melakoni trip mancing di Wakatobi seraya meresapi maha karya Tuhan yang terlukis jelas di dasar perairannya.

Jatuh Cinta Pada Pandangan Pertama
Satu minggu kami sisihkan waktu untuk bisa merajut romantisme dengan kecantikan alam Wakatobi. Cerita awal kami dimulai pada Kamis, 6 Oktober 2018, sebagian dari kami terbang dari Jakarta menggunakan armada plat merah untuk sampai ke Wakatobi. Namun sebelumnya kami harus transit lebih dulu ke Kendari, lalu melanjutkan penerbangan dengan pesawat jenis ATR menuju bandara Matohara di Wangi-wangi.

Sesampainya di gerbang awal Wakatobi, kami sudah disambut kapal penjemput yang akan membawa kami ke Pulau Tomia. Kapal penjemput ini merupakan bagian dari fasilitas KM Putra Tomia yang akan menjadi bahtera kami selama menjelajahi alam raya Wakatobi.

Ko Atong berpose dengan ikan hasil tangkapannya.

Setelah sampai di Tomia sekitar pukul 15:00 sore waktu setempat, kami memanfaatkan waktu untuk beristirahat sejenak di home stay yang telah disediakan, seraya menyerap energi positif yang mengalun di ruang udara Wakatobi. Pulau yang kami pijak ini merupakan salah satu dari empat pulau besar lain yaitu; Wangi-wangi, Tomia, Kaledupa dan Binongko yang menjadi acuan akronim dari pembentukan nama Wakatobi.

Di Tomia ini pula cerita awal trip panjang kami dimulai dengan menumpaki kapal khusus wisata mancing di Wakatobi. Saat malam tiba, kami menyambangi spot pertama yang masih berada di sekitar pinggir Pulau Tomia. Namun jarak yang kami tempuh cukup jauh, sekitar dua jam perjalanan. Faktor utamanya adalah kami menjauhi spot-spot menyelam (diving site) yang memang dikhususkan untuk diving.

Jarum jam menunjukan waktu tengah malam saat kami tiba di spot pertama. Menurut kapten kapal, spot ini merupakan spot andalan untuk teknik jigging dengan target Dogtooth Tuna. Dalam layar fish finder terlihat kedalaman air antara 60 meter hingga menjorok langsung ke tubiran berkedalaman ratusan meter. Seperti yang diduga, kontur bawah laut Wakatobi memang didominasi oleh terumbu karang cantik dengan kedalaman yang bervariasi.

Untuk diketahui, satu kawasan Taman Nasional Wakatobi memiliki luas 1,39 juta hektar. Sekitar 54.500 hektar diantaranya merupakan luas terumbu karang yang menasbihkan Wakatobi sebagai jantung segitiga karang dunia. Kondisi ini juga selaras dengan keberadaan ragam spesies ikan yang jamak membentuk schooling (koloni) saat berlalu-lalang di bawah laut Wakatobi.

Fenomena schooling ini pula yang menjadi daya tarik bagi para penyelam dari berbagai belahan dunia untuk datang ke kabupaten terluar di Sulawesi Tenggara tersebut. Tak terkecuali dengan kami yang khusus datang untuk menjajal langsung fenomena tersebut. Bedanya kami ingin merasakan sensasinya dari atas permukaan air alias di atas kapal.

Ternyata memang cerita tersebut bukan isapan jempol belaka. Penjelajahan kami di spot pertama sudah menjelaskan fenomena schooling ikan itu benar adanya. Sepanjang dini hari sampai subuh kami memancing, cooling box berukuran 220 liter yang kami bawa sudah terisi penuh oleh penghuni bawah laut. Dominan hasil tangkapan kami pada pesta malam itu ialah Tuna Gigi Anjing dan Tongkol.

Cerita manis trip mancing kami terus berlanjut di spot kedua di Pulau Cowok-cowok yang berjarak sekitar 50 km atau menempuh 4 jam perjalanan. Meski arus bawah sedikit kencang yang memaksa kami menggunakan metaljig 200 gram, namun potensi di spot ini lebih beragam dengan target; Doggie, Kuwe Mata Belo, Tongkol, dan spesies karang seperti Red Bass, Kakap Merah, dan Kerapu. Kedalaman yang terlihat dari perangkat fish finder mencantumkan kedalaman di angka 80 meter ke bawah.

Selama dua hari kami bersandar pada spot ini, kami secara bergantian memainkan teknik antara jigging sepanjang malam dan casting serta popping pada saat matahari menujukan eksistensinya. Untuk casting dan popping, terget kami adalah GT dan Barakuda yang kerap melakukan schooling di air dangkal.

Hampir di setiap spot yang kami singgahi, baik di Tomia, Cowok-cowok hingga Runduma kami selalu disambut dengan respon positif dari penghuni bawah air. Memang kondisi laut Wakatobi yang masih terjaga dengan baik menjadi habitat sempurna bagi biota laut di dalamnya. Kami melihat faktor masyarakat lokal yang hidup harmoni bersama alam, turut mempengaruhi terjaganya surga bahari Wakatobi yang paripurna.

Ikan hasil pancing yang didominasi spesies Trevally dan Tongkol.

Misalnya saja tentang bagaimana gaya hidup masyarakat suku Bajo yang sejak berabad-abad silam mendulang ikan dengan cara yang ramah lingkungan. Suku Bajo dikenal sebagai manusia yang mampu menyelam ke dasar laut tanpa bantuan alat untuk mencari ikan. Dengan menggunakan alat tradisional serupa dengan speargun ala spearfishing, masyarakat Suku Bajo dinilai mempraktikan konsep sustainable fishing (perikanan berkelanjutan) selama ratusan tahun. Seperti ada semacam konsesus bagi masyarakat Wakatobi yang dengan sadar menjaga surga bahari di sekeliling tempat tinggal mereka. Bila anda berkunjung ke pulau-pulau di gugusan Wakatobi, anda akan melihat bagaimana pulau tersebut cukup bersih dari sampahsampah. Pemandangan yang amat jarang kita temui di banyak daerah di Indonesia.

Oh iya satu lagi, jangan kaget bila anda melihat kapal-kapal di Wakatobi tidak memiliki jangkar. Terumbu karang disini amat berharga untuk sekadar dirusak oleh jangkar kapal. Sebagai gantinya, ada banyak pengait yang tersedia untuk mengikat kapal agar tak terbawa arus. Sungguh harmoni alam yang sangat syahdu untuk diduplikasi di surga bahari lainnya di Bumi Nusantara. – Koh Atong

Similar Posts