Tepat sebelum matahari timbul dari balik malam, KM Berdikari 8 yang kami tumpangi tiba di spot pertama di sekitar Gosong Sandal usai menempuh pelayaran selama lebih kurang 6 jam dari bibir pantai TPI Lempasing di Teluk Betung. Menerjang Alun gelombang samudera jadi rintangan pasti untuk bisa mendatangi arena strike di bibir samudera itu. Para pemancing yang mulanya tertidur pulas terpaksa mengerahkan tenaga andalan kala kawasan Ruby Snapper menyerang umpan mereka dari dasar laut.
Perairan Lampung Selatan kembali didatangi. Berbagai kegiatan mancing kerap dilakukan seolah tak ada bosannya untuk disudahi. Berbagai pembahasan pun telah diterbitkan oleh berbagai saluran media hingga forum diskusi para pemancing seantero nusantara. Dari spot potensial, ikan berbobot besar dan seni mengaplikasikan teknik mancing untuk mendapatkan target ikan yang diinginkan.
Kontur dasar laut berupa karang nan luas membawa para pegiat mancing di sana berlomba mendapatkan spot mancing favorit. Terumbu karang tersebut atau kerap disebut juga ‘gosong’ bermunculan di beberapa titik ke dalaman. Dalam pengertian pelayaran, “gosong” memiliki arti yang sama dengan terumbu bentukan dangkal yang biasanya terbentuk dari pasir dengan kedalaman bervariasi, termasuk di dalamnya adalah penumpukan geluh.
Ruby Snapper
Tidak terasa tibalah kami di spot bernama Gosong Pasir sebelum fajar menyingsing di ufuk timur usai menerjang gerimis malam. Gosong Sandal, nama tersebut disematkan oleh para pegiat mancing di Lampung Selatan karena lokasi ini memiliki dasar berupa jajaran karang nan luas menyerupai bentuk pelindung alas kaki, sandal.
Kapten Bowo sebagai nahkoda ketika itu memarkir kapal menyesuaikan dengan kondisi arus bawah laut agar umpan tepat jatuh di atas kerumunan ikan yang terlihat di fish finder. Layar fish finder juga menunjukkan bahwa spot ini memiliki kedalaman air lebih dari 100 meter. Tantangan sebenarnya di mulai.
Teknik jigging coba diaplikasikan menggunakan metal jig sebagai senjata andalan. Arus cukup kencang mempengaruhi beban pada lure tersebut ketika kembali ditarik menuju permukaan air. Metal jig berukuran 60-100 gram seolah bertambah berat dua kali lipat dan tentu menguras tenaga kami di buritan kapal.
Bak gayung bersambut. Sergapan seekor ikan dari dalam air menimbulkan ketegangan usai beberapa kali percobaan jigging yang dilakukan Joeli. Satu kakinya menahan perlawanan ikan membentuk kuda-kuda kuat sambil memainkan irama menggulung senar. Entah ikan apa yang melahap lure miliknya, hingga bayangan merah terlihat mendekati permukaan. Ternyata seekor Ruby Snapper sukses didapatkan.
Seperti hasil oleh Surya pada sebelumnya, kawanan Ruby rupanya sudah menyambut kedatangan kami usai strike berkali-kali. Keadaan ini menambah semangat gairah mancing kami walau rasa lelah terus terang masih menggelayut pada tubuh. Mata mengantuk berubah benderang serupa lampu sorot KM Berdikari 8 yang menembus redup malam di tengah samudera.
Ikan mempesona dengan warna merah menyala bercampur oranye memang menjadi ciri khas dari Ruby Snapper yang jadi salah satu ikan target primadona bagi pemancing. Ruby Snapper (Etelis Carbunculus) masih termasuk ke dalam spesies Kakap dan merupakan tipe ikan yang berhabitat di terumbu karang. Berbeda dengan keluarga Kakap lainnya, Ruby Snapper lebih cenderung mendiami kawasan air laut dengan kedalaman 90-400 meter. “Ikan (bersisik) merah merupakan tipe ikan yang cenderung menetap pada ekosistem karang-karang. Bukan tipe pengarung seperti ikan predator,” jelas Bowo ketika berbincang di ruang kemudi kapal.
Ruby Snapper memiliki morfologi gigi tajam di dalam mulut besarnya yang dijadikan senjata untuk menyantap mangsa, serta didukung oleh bentuk tubuh memanjang mirip torpedo yang menjadikan Ruby salah satu perenang handal. Tidak heran, jika perlawanan ikan karang laut dalam ini cenderung merepotkan pemancing kala tersangkut mata kail. Membawa umpan menuju dalam karang-karang nan tajam yang beresiko memutuskan senar.
Badai menerjang kami pada malam kedua di tengah samudera. Mulanya cuaca cerah dan semua biasa-biasa saja, namun berubah drastis dan awan gelombang besar mengintai kami ketika memasuki dini hari. Info cuaca dari pengelola KM Berdikari nampaknya sesuai dengan ramalan. Mancing pun jadi tidak nyaman dan tidur adalah jalan keluar untuk menghadapi badai malam itu.
Boiling Tongkol
Dalam perjalanan pulang menuju Lempasing, kami beberapa kali menemui kerumunan ikan Tongkol berenang mendekati permukaan. Bak air mendidih, kala itu lautan seolah bergejolak sepanjang hampir 50 meter. Keadaan ini tentu menarik perhatian kami seisi kapal yang memandang hal tersebut dari kejauhan.
Tidak ingin kehilangan momentum berharga, kapten Bowo segera mendekatkan kapal menuju kerumunan itu. Dari buritan kapal, kami menyiapkan alat pancing berupa senar kotrekan panjang yang berisi beberapa mata kail. Penggunaannya tentu berbeda dengan piranti modern, kotrekan ditarik tanpa bantuan joran maupun ril alias tangan kosong (Handline). Gerak cepat dilakukan dengan mengulur kotrekan ke kerumunan tadi, lalu ditarik dan membuahkan hasil rentetan Tongkol yang tersangkut mata kail. Fenomena ini terjadi berulang kali dari berbagai sudut. Membuat kapal beberapa kali berputar melewati kerumunan. Keahlian kapten dalam melakukan akselerasi sangat diuji agar tidak kehilangan momentum berharga.
Habitat ikan ini berada di perairan dengan kedalaman hingga 200 meter (Epipelagic). Tongkol (Euthynnus affinis) merupakan spesies neuritik yang mendiami perairan dengan kisaran suhu antara 18-29 °C. Di kelasnya, Tongkol adalah predator rakus yang memakan berbagai ikan kecil, udang, dan cumi (Cepalopoda).
Namun sebaliknya juga merupakan target mangsa dari Hiu, Marlin bahkan keluarga Trevally. Maka banyak pula pemancing, bila menemui kondisi ini, kerap melempar umpan buatan (metaljig) ke arah kerumunan (castjig) dengan harapan ada predator besar yang melahapnya. Istilah boiling menurut terjemahan berarti ‘mendidih’. Maksud dari penamaan tersebut mungkin mengacu pada keadaan, dimana ikan-ikan (biasanya tongkol) berkerumun di garis permukaan air untuk menyambar makanan seolah bergejolak menyerupai air yang mendidih. Namun tidak hanya tongkol, kerap pula ditemukan salem bahkan Tuna sirip kuning muda ikut serta dalam kekacauan ini. – Rico Prasetio